Logo

KLH/BPLH Tindak 21 Usaha dan Cabut 8 Izin demi Selamatkan Hulu Ciliwung

16 Juli 2025

Nomor: SR.148/HUMAS/KLH-BPLH/7/2025

 

Jakarta, 16 Juli 2025 – Rangkaian bencana banjir dan longsor yang terjadi pada 2 Maret serta 5–9 Juli 2025 di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, menjadi alarm keras atas kondisi darurat ekologis di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cileungsi. Bencana ini menewaskan tiga orang, menyebabkan satu orang hilang, dan merusak tujuh desa di Kecamatan Cisarua dan Megamendung. Dampaknya bahkan menjalar hingga ke wilayah hilir seperti Jakarta dan Bekasi. Menanggapi situasi ini, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) melakukan langkah tegas: penegakan hukum terhadap 21 pelaku usaha, pencabutan delapan persetujuan lingkungan, serta pengiriman surat resmi kepada Bupati Bogor dengan ultimatum pencabutan izin dalam waktu 30 hari kerja.

“Hasil pengawasan lapangan KLH/BPLH mengungkapkan bahwa penyebab utama bencana adalah kerusakan ekosistem hulu secara masif akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali, lemahnya pengendalian tata ruang, serta menjamurnya bangunan tanpa persetujuan lingkungan yang sah,” kata Menteri Hanif.

Menteri Hanif melanjutkan banyak bangunan tersebut berdiri di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara I Regional 2 (eks PTPN VIII), meskipun kawasan ini telah memiliki Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) sejak 2011.

 

“Sanksi paksaan pemerintah diberikan jika pelanggaran yang dilakukan menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan, berdampak lebih luas, dan menyebabkan kerugian yang lebih besar jika tidak segera dihentikan,” tegas Menteri Hanif Faisol Nurofiq.

 

KLH/BPLH bersama Pemerintah Kabupaten Bogor menyatakan bahwa delapan perusahaan—PT Pinus Foresta Indonesia, PT Jelajah Handal Lintasan (JSI Resort), PT Jaswita Lestari Jaya, PT Eigerindo Multi Produk Industri, PT Karunia Puncak Wisata, CV Pesona Indah Nusantara, PT Bumi Nini Pangan Indonesia, dan PT Pancawati Agro—terbukti memiliki persetujuan lingkungan yang secara substansial dan prosedural tumpang tindih dengan DELH milik PTPN I Regional 2.

Tiga dari perusahaan tersebut, yakni PT Bumi Nini Pangan Indonesia, PT Jaswita Lestari Jaya, dan PT Pancawati Agro, telah dikonfirmasi akan dicabut izinnya oleh Bupati Bogor. Lima sisanya masih dalam proses evaluasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor. Menteri Hanif melalui surat tertanggal 24 April 2025 telah memberikan tenggat 30 hari kerja bagi Bupati Bogor untuk menyelesaikan pencabutan seluruh persetujuan lingkungan tersebut. Jika tidak dilaksanakan, KLH/BPLH akan mengambil alih proses pencabutan izin secara langsung.

Evaluasi teknis KLH/BPLH menemukan berbagai pelanggaran berat, seperti pembukaan lahan dalam kawasan taman nasional, tidak adanya pengelolaan air larian, tidak dilakukan pengukuran kualitas udara, air limbah domestik, maupun kebisingan, serta ketiadaan fasilitas penyimpanan limbah B3. Salah satu temuan paling mencolok adalah kegiatan operasional PT Pinus Foresta Indonesia yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Selain pencabutan izin, KLH/BPLH juga menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah kepada 13 pelaku usaha lainnya, termasuk CV Mega Karya Nugraha, PT Tiara Agro Jaya, PT Banyu Agung Perkasa, PT Taman Safari Indonesia, CV Sakawayana Sakti, PT Pelangi Asset Internasional, dan PT Bobobox Aset Manajemen. Mereka diwajibkan menghentikan seluruh aktivitas dalam waktu tiga hari, membongkar bangunan dalam 30 hari, dan memulihkan lingkungan paling lambat 180 hari. Penegakan dilakukan oleh Deputi Penegakan Hukum KLH/BPLH Irjen Pol. Rizal Irawan berdasarkan Pasal 505 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

KLH/BPLH juga telah memulai proses pemulihan ekologis di kawasan Agrowisata Gunung Mas, melalui penanaman kembali vegetasi oleh empat pelaku usaha: CV Sakawayana Sakti, PT Taman Safari Indonesia, PT Tiara Agro Jaya, dan PT Prabu Sinar Abadi.

Guna mencegah terulangnya bencana ekologis di masa depan, KLH/BPLH mendorong reformasi tata ruang secara menyeluruh berbasis Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), memperkuat peran masyarakat dalam edukasi dan pengawasan pembangunan, serta melakukan kajian geologi dan karakteristik tanah untuk mendukung kebijakan yang berbasis data ilmiah.

“KLHS menjadi acuan penting agar tata ruang tidak bertentangan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta mampu mencegah bencana ekologis yang berulang,” jelas Menteri Hanif.

KLH/BPLH menegaskan bahwa tindakan yang diambil bukanlah bentuk kriminalisasi terhadap pelaku usaha, melainkan penegakan hukum administratif demi keselamatan ekologis nasional. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga didorong untuk segera mengevaluasi seluruh dokumen lingkungan aktif yang berada di kawasan strategis ini.

Melalui penegakan hukum yang konsisten dan langkah pemulihan yang berbasis ekologi, KLH/BPLH berkomitmen mengembalikan kawasan Puncak sebagai wilayah resapan air strategis nasional dan mencegah bencana ekologis berulang di masa mendatang.

 

Penanggung Jawab:

Kepala Biro Hubungan Masyarakat

Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup

Sasmita Nugroho, S.E.

Telepon:+62 818-0819-5929
Website:kemenlh.go.id
E-mail:humas@kemenlh.go.id
Instagram:kemenlh_bplh
Youtube:KLH-BPLH
TikTok:Kemenlh_BPLH
X/Twitter:KemenLH_BPLH

Galeri Foto

Additional image
Additional image
Additional image
Additional image