Di tengah lanskap tropis Bali yang memikat, tersembunyi satu kenyataan pahit yang kian mendesak: darurat sampah. Pulau dewata, yang menjadi magnet jutaan wisatawan setiap tahun, tak luput dari krisis lingkungan. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 58,9% sampah berasal dari rumah tangga. Ini bukan sekadar soal tumpukan plastik atau aroma tak sedap di TPA. Ini adalah tentang masa depan sebuah peradaban yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia dan alam—Tri Hita Karana.
Di tengah tantangan ini, sebuah inisiatif diam-diam membangun harapan. Melalui kerja sama bilateral antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kedutaan Besar Denmark, sebuah pelatihan bertajuk Training of Trainers (ToT) digelar pada Juni 2025. Pesertanya bukan sembarang orang. Mereka adalah Pacalang, satuan pengamanan adat Bali—yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam menjaga tradisi, budaya dan ketertiban.
Dari Penjaga Tradisi Menjadi Agen Perubahan
Pacalang, sang penjaga Kahyangan, selama ini dikenal perannya dalam mengatur jalannya lalu lintas upacara perayaan keagamaan, hingga mediator dalam konflik sosial. Kini, Pacalang belajar memilah sampah, mengompos, dan mengajarkan ulang pada masyarakatnya. Lebih dari sekadar keterampilan teknis, pelatihan ini menghadirkan pemberdayaan diri—menanamkan kesadaran bahwa merawat bumi adalah bentuk luhur dalam menjaga adat dan budaya.
ToT ini digelar bersama wastepreneur.id dalam dua gelombang:
Acara ini dibuka oleh Direktur Pengurangan Sampah dan Ekonomi Sirkular, Agus Rusly, serta dihadiri oleh tokoh penting di Provinsi Bali, termasuk Ibu Putri Suastini Koster, Duta Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Provinsi Bali, yang memberikan dukungan penuh atas peran lokal dalam menjaga lingkungan.
Membumikan Ekonomi Sirkular
Pelatihan ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia hadir dalam kerangka ekonomi sirkular, sebuah konsep yang mendorong nilai tambah dari setiap limbah agar tidak sekadar menjadi sampah, tetapi dapat kembali menjadi sumber daya. Dalam konteks Bali, ini berarti mengolah sampah rumah tangga menjadi kompos untuk pertanian lokal, mendaur ulang plastik menjadi bahan baku daur ulang industri, atau mengurangi konsumsi dari sumbernya.
Pacalang dilatih untuk menjadi pemantik perubahan perilaku. Dengan bekal pengetahuan tentang pengelolaan sampah dari hulu ke hilir, Sang Penjaga Kahyangan dapat mengajak masyarakat memilah sampah di rumah, demi menjaga kesucian pulau Bali dari cemaran plastik sekali pakai.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Apakah pelatihan ini akan menyelesaikan semua masalah sampah di Bali? Tentu tidak. Tapi seperti yang disampaikan dalam pelatihan, “ini bukan tentang hasil instan, tapi tentang perjalanan panjang”. Perjalanan menuju pulau yang lebih lestari dan berkelanjutan, dimulai dari satu komunitas, satu desa, satu keluarga. Dan di sanalah Pacalang berdiri—di garda depan perubahan.
Pacalang sebagai penjaga ketertiban adat, turut menjadi pelopor harmoni ekologis dan tradisi. Karena menjaga lingkungan bukan sekadar tugas pemerintah atau komunitas, namun menjadi bagian dari laku budaya.
Sebagaimana pepatah Bali mengatakan, “Ajeg Bali tidak bisa tegak tanpa ajeg lingkungannya”. Dan kini, para Pacalang telah mengambil langkah pertama menuju tegaknya masa depan itu, demi menjaga Pulau Dewata yang menjadi kebanggaan semua.
Jakarta, 10 Juli 2025
Penulis: Ana Suryana, Penyuluh Lingkungan Hidup Ahli Pertama pada Direktorat Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular, KLH/BPLH
Editor: Yulianti Fajar Wulandari