Jakarta, 24 Juni 2025 — Era baru penegakan hukum lingkungan resmi dimulai! Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menegaskan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia kini tak lagi sekadar urusan administrasi. Pendekatan ilmiah dan keterlibatan masyarakat akar rumput menjadi fondasi utama dalam melindungi bumi dari kerusakan yang terus mengancam.
Dalam semester pertama 2025 saja, Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (PSLH) telah menangani 74 perkara lingkungan, baik melalui jalur pengadilan maupun non-litigasi. Hasilnya? Negara mengantongi PNBP senilai Rp117,28 miliar, yang berasal dari ganti rugi dan pemulihan lingkungan oleh pelaku usaha. Tapi ini bukan sekadar soal angka. Ini tentang tanggung jawab dan perubahan paradigma. PNBP tersebut akan dipergunakan untuk penguatan kelembagaan dan pemulihan lingkungan.
Direktur PSLH, Dodi Kurniawan, menyebut pendekatan baru ini bukan reaksi instan terhadap bencana lingkungan viral, melainkan kerja sistematis yang dimulai dari hal-hal kecil: laporan masyarakat, suara warga desa, dan pengawasan di tingkat lapangan.
“Kita harus mulai dari bawah. Dari suara-suara kecil yang selama ini tak terdengar. Di situlah awal dari keadilan lingkungan,” tegas Dodi.
Direktur PSLH juga menekankan bahwa izin lingkungan bukan sekadar dokumen pelengkap—melainkan alarm dini terhadap potensi kerusakan. Dengan kata lain, izin adalah janji pelaku usaha untuk menjaga lingkungan, dan KLH/BPLH hadir untuk memastikan janji itu ditepati.
Selama enam bulan terakhir, 38 sengketa diselesaikan secara damai melalui mediasi dan negosiasi yang berbasis data ilmiah dan partisipasi aktif masyarakat. Di sisi lain, 36 perkara berlanjut ke pengadilan, dengan 15 di antaranya sudah memiliki putusan tetap. Satu kasus bahkan berhasil dieksekusi dengan nilai pemulihan lingkungan mencapai Rp86 miliar.
Semua penyelesaian dimulai dari verifikasi lapangan: mengumpulkan sampel, memotret kondisi lingkungan, hingga menganalisis hasil laboratorium. Data ini menjadi bukti utama yang tak terbantahkan dalam menuntut pertanggungjawaban pelaku.
KLH/BPLH juga menerapkan prinsip strict liability, terutama dalam kasus limbah B3, pencemaran laut, dan kerusakan kawasan konservasi. Artinya, pelaku usaha bisa dimintai pertanggungjawaban meskipun tanpa ada unsur kesengajaan. Ini memperkuat posisi negara dan masyarakat dalam memperjuangkan keadilan lingkungan.
Proses negosiasi pun dirancang profesional dan efisien, maksimal lima tahap, mulai dari penyampaian klaim hingga kesepakatan pemulihan yang dituangkan dalam berita acara resmi. Setiap kesepakatan dipantau langsung oleh tim teknis KLH/BPLH.
Namun, bagi KLH/BPLH, sukses tak diukur dari jumlah kasus atau nilai kerugian. Yang lebih penting adalah perubahan perilaku, pencegahan kerusakan berulang, dan rasa keadilan yang dirasakan masyarakat. Karena bagi KLH/BPLH, keadilan lingkungan bukan milik generasi hari ini saja—ini soal warisan untuk anak cucu kita.
“Dengan strategi baru yang ilmiah, transparan, dan partisipatif, KLH/BPLH menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan bisa berjalan tegas namun adil, kuat namun membumi. Kerusakan lingkungan adalah kejahatan serius—dan negara hadir untuk menindak, memulihkan, dan mencegah,” pungkas Dodi.