Di banyak desa pertanian Indonesia, tumpukan jerami, ranting, atau daun gugur sering dianggap sisa tak bernilai. Namun, di tangan sains, sisa organik itu dapat berubah menjadi biochar—arang hitam pekat yang kaya karbon dan stabil, dihasilkan dari pemanasan bahan organik dalam kondisi minim oksigen.
Proses ini disebut pirolisis, dan hasilnya bukan sekadar pupuk untuk sawah atau kebun. Biochar mampu mengunci karbon di dalam tanah selama ratusan tahun, mencegahnya kembali terlepas ke udara dalam bentuk gas rumah kaca. Dalam bahasa sederhana: setiap butir biochar adalah “brankas karbon” yang membantu memperlambat laju perubahan iklim.
Tak heran jika biochar kini dilirik sebagai komoditas penting dalam perdagangan karbon dunia. Prinsipnya, semakin besar kontribusinya dalam menurunkan emisi, semakin tinggi nilainya untuk mendapatkan kompensasi dalam skema pasar karbon. Tapi sebelum itu, ada satu langkah krusial: menghitung dengan tepat seberapa besar pengurangan emisi yang dihasilkan.
Itulah yang menjadi inti diskusi di sebuah forum pada 22 April 2025 di Solo, yang dihadiri oleh Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV (IGRK MPV) Kementerian Lingkungan Hidup, bersama Asosiasi Biochar Indonesia Internasional. Di hadapan Tim Pakar Panel Metodologi MRV, asosiasi ini mempresentasikan rancangan metodologi penghitungan pengurangan emisi dari biochar, baik untuk aplikasi di tanah maupun non-tanah.
Secara umum, rancangan itu mengadopsi VCS Methodology VM0044 Version 1.1, sebuah panduan internasional dari Verra yang digunakan untuk menghitung dan memverifikasi pengurangan emisi di sektor LULUCF (Land Use, Land-Use Change, and Forestry). Metodologi ini selama ini dipakai dalam proyek pengelolaan hutan berkelanjutan, reboisasi, hingga pemanfaatan lahan secara ramah lingkungan.
Namun, tim panel menemukan beberapa hal yang perlu diperjelas. Misalnya, bagaimana menghitung emisi yang timbul dari proses pengangkutan biochar, atau bagaimana memasukkan manfaat dari “by product” seperti syngas dan bio-oil ke dalam total pengurangan emisi. Detail seperti ini penting agar metodologi yang digunakan tidak hanya akurat, tapi juga dapat diterima di tingkat global.
Bagi Kementerian Lingkungan Hidup, upaya ini adalah bagian dari perjalanan panjang menuju pengakuan internasional. Saat metodologi ini rampung, setiap ton biochar yang digunakan di sawah atau kebun Indonesia bisa menjadi bagian dari skema perdagangan karbon dunia—membawa manfaat ganda: pendapatan bagi petani dan kontribusi nyata bagi bumi.
Dari tumpukan jerami di tepi ladang hingga ruang rapat berpendingin udara di forum internasional, biochar sedang menempuh jalan panjangnya. Mungkin suatu hari nanti, arang hitam yang kini kita genggam akan punya nilai setara emas—bukan karena warnanya, tapi karena ia menyimpan masa depan iklim di dalam setiap pori-porinya.
Jakarta, 14 Agustus 2025
Penulis: Saiful Lathif, M.Si (Pranata Humas Ahli Muda pada Direktorat IGRK MPV)
Editor: Yulianti Fajar Wulandari