Logo

Menjadi Khalifah di Bumi: Mengelola Alam Sebagai Ibadah

22 September 2025

Di dalam bentangan semesta yang luas ini, manusia menempati posisi istimewa. Al-Qur’an menegaskan dalam Surat Al-Isra ayat 70 bahwa anak cucu Adam dimuliakan, diberi kemampuan menjelajahi daratan dan lautan, serta dianugerahi rezeki dari yang baik-baik. Kemuliaan ini bukanlah hadiah tanpa konsekuensi; ia adalah amanat yang memanggil manusia untuk menjadi khalifah—pemimpin sekaligus penjaga bumi.

Sejak awal penciptaan, manusia diberi kebebasan memilih: berjalan di atas jalan ketaqwaan atau terjerumus dalam jalan kebinasaan. Potensi keduanya telah diilhamkan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Asy-Syams ayat 8–10. Namun, pilihan yang benar membawa keberuntungan: mensucikan jiwa, menjaga keseimbangan, dan mengelola bumi dengan bijak.

Tiga Pilar Amanat Manusia Terhadap Alam

Islam mengajarkan bahwa interaksi manusia dengan lingkungan bukan sekadar pemanfaatan sumber daya, melainkan ibadah yang menyeluruh. Ada tiga amanat utama yang menjadi pilar etika ekologis dalam Islam:

  1. Al-Intifa’ – Memanfaatkan dengan Bijak

Bumi dan seluruh isinya diciptakan untuk mendukung kehidupan manusia. Tanaman, hewan, hingga mineral adalah karunia yang sah untuk dimanfaatkan. Namun, Al-Qur’an (Al-An’am: 141–142) mengingatkan agar kita tidak berlebih-lebihan. Konsumsi yang berkelanjutan, pembagian hasil bumi yang adil, dan kepatuhan pada kewajiban seperti zakat menjadi benteng agar pemanfaatan tidak berubah menjadi perusakan.

  1. Al-I’tibar – Merenungi dan Menggali Rahasia Alam

Gunung yang menjulang, langit yang terangkat tanpa tiang, hingga seekor unta yang diciptakan dengan segala keunikannya (Al-Ghasyiyah: 17–19) bukanlah sekadar objek pandang, melainkan tanda-tanda yang mengajak manusia berpikir. Ilmu pengetahuan dalam Islam bukanlah sekadar sarana menguasai alam, tetapi jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

  1. Al-Ishlah – Memelihara dan Memperbaiki

Ketika kerusakan melanda—hutan gundul, laut tercemar, udara tak lagi bersih—Al-Qur’an (Ar-Rum: 41) menyebutnya sebagai akibat dari perbuatan tangan manusia sendiri. Karena itu, memelihara lingkungan, memulihkan ekosistem, dan menghindari perilaku yang merusak adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah.

Alam sebagai Ladang Ibadah

Di tengah perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan semakin terbatasnya sumber daya, pesan Al-Qur’an terasa semakin relevan: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi... dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi” (Al-Qashash: 77).

Mengelola alam bukan sekadar tugas pemerintah atau para ilmuwan. Setiap individu adalah bagian dari sistem besar yang saling terkait. Mengurangi sampah plastik, menanam pohon, mendukung energi terbarukan, atau sekadar mengajarkan anak-anak menghargai air bersih—semua itu adalah amal ibadah.

Dari Amanat Menjadi Warisan

Menjadi khalifah berarti berani memikul tanggung jawab yang dulu ditolak oleh langit, bumi, dan gunung-gunung (Al-Ahzab: 72). Tugas ini berat, namun juga mulia: memastikan bumi yang kita warisi tetap subur, lestari, dan penuh berkah bagi generasi berikutnya.

Ketika setiap langkah kita dalam menjaga alam dilandasi niat ibadah, pengelolaan sumber daya alam tidak lagi sekadar persoalan ekonomi atau teknologi—ia menjadi bagian dari perjalanan spiritual. Karena pada akhirnya, bumi yang kita rawat hari ini akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT, apakah kita telah layak disebut sebagai khalifah-Nya.

Jakarta, 22 September 2025

Penulis: Saiful Latief, Pranata Humas Ahli Madya pada Direktorat IGRK-MPV

Foto: Yulianti Fajar Wulandari 

Galeri Foto