Belem, Brasil, 13 November 2025 — Di tengah suasana dinamis Konferensi Perubahan Iklim COP 30, sebuah pertemuan antara Indonesia dan Brasil menyita perhatian dunia internasional. Dua negara tropis dengan hutan terluas dan keanekaragaman hayati terkaya itu duduk bersama, merumuskan langkah konkret untuk masa depan bumi. Pertemuan bilateral antara Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Perlindungan Lingkungan Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq dan Menteri Lingkungan Hidup serta Perubahan Iklim Brasil, Marina Silva, tidak hanya menjadi tindak lanjut dari kedekatan antarpresiden kedua negara, tetapi juga menandai semakin kuatnya diplomasi hijau antara Jakarta dan Brasilia.
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Hanif, Indonesia kembali menegaskan bahwa masyarakat lokal adalah inti dari seluruh upaya konservasi. “Komunitas adalah jantung dari keberhasilan menjaga alam. Mereka bukan objek program, tetapi pelaku utama perubahan.” Dengan cara pandang itu, Indonesia menyampaikan minat memperkuat kerja sama dalam pembiayaan inovatif berbasis komunitas, implementasi strategi keanekaragaman hayati nasional, pengelolaan hutan, pertanian, dan laut, serta mekanisme Access and Benefit Sharing (ABS) dan pengembangan biodiversity credits sebagai pembiayaan konservasi masa depan.
Brasil menyambut dengan apresiasi hangat dan nada optimistis. Mereka menekankan bahwa kontribusi Indonesia terhadap inisiatif Tropical Forests Forever Facility (TFFF) — bukan hanya sebuah bantuan, tetapi sebuah langkah strategis yang mencerminkan kepemimpinan negara-negara tropis. Ini adalah peluang kerja sama yang terbuka lebar, mulai dari ABS yang telah mereka jalankan secara inklusif hingga pengelolaan digital sequencing information dan konservasi pesisir.
“Kontribusi Indonesia adalah investasi, bukan bantuan. Ini adalah komitmen bersama untuk hutan tropis dunia,” tegas Marina Silva.
Dalam pertemuan itu, Brasil juga menyampaikan ambisi besar mereka. Dengan percaya diri, mereka memaparkan roadmap transisi energi sekaligus target zero deforestation tahun 2030,” ujar Marina Silva. Fondasi kebijakan ini menjadi modal kuat Brasil untuk mendorong implementasi TFFF sebagai instrumen global untuk menjaga stabilitas iklim.
Di sisi lain, Indonesia menyatakan kesiapan mempelajari lebih lanjut pemanfaatan TFFF serta menjajaki dukungan Brasil bagi penguatan International Tropical Peatland Center (ITPC). Diskusi pun berkembang hingga ke wacana kerja sama tiga kawasan sungai besar—Amazon, Congo, dan Borneo—yang diyakini dapat menjadi blok ekologis terbesar di dunia.
Indonesia juga memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan transformasi kebijakan iklim nasional, termasuk perubahan target penurunan emisi dari persentase menuju tingkat emisi absolut. Kebijakan ini memberikan kejelasan yang lebih terukur sekaligus mencerminkan keseriusan Indonesia dalam mencapai strategi jangka panjang rendah karbon dan tujuan pembangunan nasional.
“Ambisi iklim perlu diiringi dukungan keuangan dan teknologi yang adil. Tanggung jawab global harus melihat kemampuan, bukan hanya tuntutan,” tegas Menteri Hanif.
Pertemuan di Belem itu menggelorakan optimisme baru. Indonesia dan Brasil, dua raksasa tropis dengan sejarah panjang menjaga keanekaragaman hayati, menegaskan tekad untuk melangkah bersama. Dari Amazon hingga Borneo, keduanya mengirim pesan kuat bahwa masa depan bumi sangat bergantung pada kepemimpinan negara-negara yang memiliki bentang alam paling penting bagi stabilitas iklim dunia.
Ketika Amazon dan Nusantara bergerak bersama, dunia memiliki harapan baru—sebuah harapan yang menggema sebagai janji sekaligus ajakan bagi komunitas global untuk kolaborasi iklim untuk iklim dan lingkungan berkelanjutan.