Jakarta, 24 Juni 2025 — Suasana di Jakarta International Convention Center (JICC) hari ini terasa berbeda. Memasuki hari kedua gelaran Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 Expo dan Forum, bukan hanya pameran yang menyedot perhatian pengunjung, tetapi juga diskusi publik dan gelar wicara yang membahas isu-isu krusial seputar lingkungan.
Salah satu agenda yang menarik perhatian adalah forum bertajuk “Sosialisasi Program Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) melalui Skema Tanggung Jawab Sosial Lingkungan , Kolaborasi dengan Dunia Usaha.” Forum ini bukan sekadar seminar biasa, tetapi menjadi simbol kebangkitan desa-desa di lahan gambut dan kekuatan kolaborasi lintas sektor dalam menjaga ekosistem yang selama ini belum terkelola maksimal.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), melalui Direktorat Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, menginisiasi kegiatan ini sebagai bagian dari peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025. Namun lebih dari sekadar seremoni tahunan, forum ini mengusung sebuah visi besar: pelestarian lingkungan tidak akan berhasil tanpa sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
Dalam forum yang diikuti peserta secara langsung dan daring melalui Zoom serta kanal YouTube, para narasumber hadir menyampaikan refleksi dan komitmen terhadap penyelamatan gambut. Direktur PPEG KLH/BPLH, Edy Nugroho Santoso, menegaskan bahwa program Desa Mandiri Peduli Gambut bukan semata proyek pelestarian, tetapi juga sarana pemulihan martabat dan kemandirian masyarakat desa secara berkelanjutan.
Dari sektor industri, Bandung Sahari dari GAPKI dan Iwan Setiawan dari APP Group. Keduanya menyampaikan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (TJSL) sudah melampaui kewajiban administratif. Jika dijalankan secara tulus dan tepat sasaran, TJSL dapat menjadi jembatan strategis antara kepentingan bisnis, kesejahteraan rakyat, dan kelestarian alam.
Tak hanya paparan teknis dan kebijakan, forum ini juga menggugah melalui kisah-kisah nyata. Tentang desa-desa yang dulu hampir musnah akibat kebakaran gambut, kini bangkit membangun kebun produktif, bank sampah, dan sumber air bersih. Semua itu lahir dari kemitraan dan kepercayaan. Dari keyakinan bahwa perubahan besar bisa bermula dari titik terkecil—yakni desa.
Dipandu oleh moderator Rotua Lelawaty, jalannya diskusi berlangsung hidup dan penuh antusiasme. Bukan hanya tentang strategi teknis, tapi juga harapan kolektif. Harapan akan masa depan generasi yang tak lagi menyaksikan langit memerah akibat asap kebakaran, atau sungai hitam karena limbah.
Indonesia sendiri memiliki sekitar 24,2 juta hektare ekosistem gambut, dan lebih dari 65% wilayah tersebut dikategorikan sebagai rawan kebakaran sedang hingga tinggi. Dalam lima tahun terakhir, jutaan hektare gambut terbakar dan menyumbang lebih dari sepertiga total emisi karbon nasional. Kerusakan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menyangkut nyawa, penghidupan, dan masa depan bangsa.
Program DMPG yang diusung KLH/BPLH bukan hanya berbicara soal konservasi, melainkan transformasi. Sebuah upaya terencana untuk menjadikan desa-desa di kawasan gambut sebagai pusat ketahanan ekologis dan ekonomi, sekaligus sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan. Forum ini juga menjadi bagian dari kampanye dunia “End Plastic Pollution” dan gerakan nasional “Hentikan Polusi Plastik,” yang mengingatkan bahwa masalah lingkungan bukan sekadar teknis, melainkan pilihan moral: apakah kita akan diam atau bergerak bersama?
KLH/BPLH memilih bergerak. Begitu juga para mitra yang hadir dalam forum ini. Dan dari Jakarta, mereka mengirimkan pesan tegas ke seluruh penjuru Nusantara: jika kita bisa menyelamatkan gambut, kita bisa menyelamatkan segalanya. Karena dari gambut, kehidupan tumbuh. Dan dari kolaborasi, harapan itu kembali menyala.