Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2024 memperketat pengawasan lingkungan setelah Undang Undang Cipta Kerja, tetapi karena masalah tenaga kerja, kekurangan dana, dan kurangnya komitmen daerah, regulasi ini bisa kehilangan daya gigitnya.
Pemerintah menetapkan garis dasar baru untuk penegakan hukum lingkungan. Sekarang, setiap pelanggaran dapat didenda secara langsung, tidak seperti sebelumnya, ketika pelanggaran sering berhenti dengan teguran. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. 14 Tahun 2024 tentang Pengawasan dan Penerapan Sanksi Administrasi mengatur kebijakan ini. Peraturan ini dibuat setelah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) Nomor 6 Tahun 2023 diterapkan.
Peraturan ini menggantikan tiga peraturan lama yang telah berlaku selama dua puluh tahun dan membawa pendekatan yang lebih tegas dengan mempermudah perizinan dan memperketat pengawasan. Denda Administrasi diposisikan untuk pertama kalinya sebagai langkah terakhir sebelum sanksi pidana dijatuhkan. Denda akan dimasukkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan digunakan untuk proyek pemulihan lingkungan.
Tetapi tujuan besar ini menghadapi kesulitan besar di lapangan. Implementasi peraturan ini masih jauh dari sempurna, terutama karena adanya izin otomatis OSS, keterbatasan sumber daya manusia untuk pengawasan lingkungan, dan kurangnya komitmen kepala daerah untuk menerapkan sanksi dan denda aministratif.
Problem awal adalah kemudahan perizinan melalui sistem Online Single Submission (OSS). Memang, sistem ini bertujuan untuk mempercepat layanan investasi, tetapi juga memungkinkan manipulasi. Pelaku usaha melakukan verifikasi izin secara mandiri tanpa melakukan kajian dampak lingkungan yang komprehensif akibat kegiatan di tingkat tapak proyek.
Akibatnya, banyak bisnis mengurangi ukuran operasionalnya untuk memenuhi persyaratan yang lebih mudah selalui Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), daripada AMDAL atau UKL-UPL yang lebih ketat. Dengan sekitar delapan puluh ribu izin yang sudah diterbitkan secara otomatis, sangat sulit untuk memastikan bahwa izin sesuai dengan kondisi. Jika tidak ada sistem verifikasi dan pengawasan lapangan yang kuat, kebijakan perizinan dapat dengan mudah berubah menjadi legitimasi untuk kegiatan yang dapat membahayakan lingkungan.
Krisis Pengawas Daerah
Ada kekurangan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) di daerah. Banyak kabupaten dan kota bahkan tidak memiliki PPLH yang diresmikan. Sejak 2015, program pelatihan tidak menghasilkan hasil yang signifikan. Selain itu, petugas yang sudah dilatih sering dipindahtugaskan ke bidang lain.
Kondisi ini melemahkan kemampuan pengawasan di tingkat lokal. Namun, PPLH merupakan bagian penting dari pelaksanaan PermenLHK Nomor 14 Tahun 2024. Penegakan sanksi administratif hanya akan menjadi gagasan jika tidak ada sumber daya pengawas yang cukup.
Anggaran Minim, Komitmen Rendah
Banyak pemerintah daerah hanya memberikan dana yang sangat kecil untuk pengawasan lingkungan karena kekurangan sumber daya pengawas dan kekurangan anggaran. Misalnya, anggaran untuk pengawasan lingkungan di Kabupaten Pekalongan hanya sekitar 2 juta rupiah per tahun. Anggaran ini bahkan tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan sekaligus.
Alasan umum adalah bahwa penegakan hukum lingkungan hidup akan mengganggu investasi. Padahal, penegakan hukum yang konsisten meningkatkan kesehatan dan kompetitif usaha. Pelaku usaha yang patuh tidak lagi dirugikan oleh mereka yang abai ketika aturan diterapkan.
Selain itu, dokumen lingkungan yang terlupakan masalah muncul di dunia bisnis. Banyak pelaku usaha melihat dokumen lingkungan seperti AMDAL, UKL-UPL, dan SPPL sebagai tugas administratif. Dokumen ini sering disimpan tanpa memahami maknanya.
Ketidaktaatan disebabkan oleh kurangnya pemahaman ini. Banyak perusahaan tidak menyadari tanggung jawab untuk mematuhi persyaratan lingkungan dan konsekuensi hukum dari pelanggaran. Jika pelaku usaha tidak dididik dengan benar, mereka akan terus menganggap sanksi administratif sebagai ancaman daripada dorongan untuk berubah.
Komitmen Politik yang Rapuh
Dalam konteks ini, jika tidak dimitigasi dengan baik, pemerintah daerah bisa menjadi sumber masalah yang besar. Padahal, sanksi administratif melibatkan penegakan hukum dan kesempatan fiskal. Penegakan hukum dapat menjadi sumber keberlanjutan jika digunakan dengan benar. Dana dari denda PNBP dapat digunakan untuk mendanai pemulihan lingkungan di daerah.
Langkah Strategis yang Diperlukan Untuk Menjawab Tantangan Implementasi Harus Diambil Segera
Pertama, izin otomatis harus diverifikasi secara menyeluruh. Pemerintah pusat bersama daerah harus membuat prosedur untuk membatalkan izin yang melanggar peraturan lingkungan dan tata ruang.
Kedua, untuk meningkatkan kelembagaan pengawasan, fungsi pengawas harus disentralisasi di bawah koordinasi KLH/BPLH. Pembentukan Balai Gakkum regional, dengan pembiayaan terpusat dan mobilitas lintas wilayah, dapat menjadi solusi.
Ketiga, PNBP harus digunakan untuk mendukung pengawasan dan pemulihan lingkungan. Daerah dapat memperoleh dana yang lebih terjamin untuk melaksanakan pengawasan yang ditetapkan oleh undang-undang melalui skema dekonsentrasi atau dana alokasi khusus (DAK).
Selain itu, digitalisasi penegakan hukum KLH/BPLH harus membantu meningkatkan transparansi dengan mengembangkan aplikasi penegakan hukum lingkungan yang dapat diakses secara publik. Aplikasi ini memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai pusat informasi, simulasi perhitungan denda, dan tempat untuk konsultasi online antara pelaku bisnis dan pemerintah.
Langkah ini akan meningkatkan transparansi dan meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat dan dunia usaha. Pemerintahan digital dapat mempercepat proses sekaligus mengurangi kemungkinan penyimpangan.
Membangun Kolaborasi dan Efek Jera
Pada akhirnya, penerapan PermenLHK Nomor 14 Tahun 2024 akan berhasil jika pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha bekerja sama. Kebijakan yang kuat di atas kertas tidak akan menghasilkan perubahan di lapangan jika tidak ada kerja sama lintas sektor.
Denda administratif bukan hanya alat penghukuman; itu adalah alat koreksi yang membuat orang jera dan mendukung pemulihan lingkungan. Kebijakan ini dapat menjadi langkah penting menuju keadilan ekologis dan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan dengan komitmen politik yang tinggi dan eksekusi yang konsisten.
Bogor, 15 Oktober 2025
Penulis: Rachma Venita, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) IPB University