Belem, Brasil, 16 November 2025 — Delegasi Indonesia menegaskan sikap kuat pada High Level Ministerial Dialogue on Climate Finance (HLMD-Climate Finance) 2025 yang diselenggarakan dalam rangkaian pertemuan perubahan iklim ke-30 (COP30). Indonesia menegaskan sikap yang menitikberatkan pada pembiayaan iklim harus kredibel, terukur, dan berkeadilan agar pelaksanaan Pasal 9.1 dan 9.3 Perjanjian Paris serta target New Collective Quantified Goal (NCQG) dapat dicapai dalam jangka pendek dan menengah.
Indonesia mendesak negara maju menunjukkan komitmen nyata dengan meningkatkan transparansi Article 9.5 dan memperbaiki kualitas instrumen pembiayaan agar tidak membebani negara berkembang; dalam 2–5 tahun ke depan Indonesia menekankan tiga prioritas aksi: memastikan kepastian dan prediktabilitas aliran dana sebagai basis perencanaan mitigasi dan adaptasi, memperkuat pelaporan UNFCCC sehingga Article 9.5 menjadi data lengkap, dapat diakses, dan berguna untuk melacak kemajuan NCQG, serta memprioritaskan kualitas pembiayaan melalui pergeseran ke hibah, pinjaman lunak, dan ketentuan yang meringankan demi melindungi fiskal dan kedaulatan pembangunan negara berkembang.
"Pembiayaan iklim bukan sekadar angka di atas kertas — ini soal kelangsungan hidup masyarakat dan kedaulatan pembangunan kita; negara maju harus tunjukkan komitmen nyata sekarang, bukan janji di masa depan," ucap Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Ary Sudijanto, menegaskan tuntutan Indonesia akan dukungan yang nyata dan terprediksi.
Dalam pertemuan HLMD-Climate Finance, keselarasan sikap Indonesia juga diperkuat dengan pernyataan tuntutan dari negara lainnya, seperti yang disampaikan oleh Presiden COP30, André Corrêa do Lago yang menekankan bahwa keputusan NCQG harus mencerminkan skala tantangan. "Keputusan NCQG harus mencerminkan besarnya tantangan iklim: target pembiayaan publik minimal USD 300 miliar per tahun dan total kebutuhan aksi mencapai USD 1,3 triliun.” Andre juga menyerukan arsitektur pembiayaan global yang lebih inklusif, responsif, dan berbasis kebutuhan negara berkembang.
Selain itu, Sekretaris Eksektutif UNFCCC, Simon E. Stiell juga mendesak percepatan implementasi: "Kita harus beralih dari plan to progress menjadi ambition to action: dari perencanaan menuju implementasi nyata yang ambisius dan terukur." Simon E. Stiell juga secara langsung meminta negara maju menggandakan komitmen pembiayaan dari baseline 2019 dan memperbesar aliran dana melalui mekanisme UNFCCC menuju 2030.
Disisi lainnya, Presiden Majelis Umum PBB, Annalena Baerbock mempertegas aspek politik dan keadilan. "Pembiayaan iklim paling sedikit USD 300 miliar per tahun harus segera dilaksanakan secara transparan dan adil; tantangan utama kini adalah komitmen politik dan keadilan distribusi," sambil menegaskan bahwa solusi teknologi tersedia — yang kurang adalah keberanian politik untuk menepati janji.
Temuan IPCC turut menjadi dasar, “kesenjangan adaptasi yang tajam dan perlunya skala pembiayaan yang jauh lebih besar. Pendanaan adaptasi saat ini hanya 4–8% dari total pembiayaan iklim dan kontribusi swasta sekitar 2% — ini jauh dari cukup," tegas Ketua The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Jim Skea yang memproyeksikan kebutuhan adaptasi global hingga USD 310 miliar per tahun pada 2035.
Dalam konteks Indonesia, kebutuhan nasional yang diperkirakan mencapai USD 247 miliar hingga 2030 untuk merealisasikan NDC menempatkan negara pada posisi mendesak untuk memastikan pendanaan yang dapat diprediksi. Rencana Adaptasi Nasional (NAP) Indonesia memetakan prioritas sektoral dan siklus operasional yang membutuhkan pendanaan berkelanjutan dari perencanaan hingga implementasi lapangan.
Sebagai respons, Indonesia mendorong kombinasi instrumen: blended finance untuk menarik modal swasta, kemitraan publik‑swasta berbasis kinerja untuk infrastruktur tahan iklim, dan mekanisme pengelolaan risiko yang melindungi masyarakat rentan.
"Transparansi Article 9.5 adalah kunci: tanpa data yang dapat dipercaya, NCQG hanya menjadi retorika; Indonesia menuntut pelaporan yang lengkap, terukur, dan dapat diakses publik," tegas Ary.
Indonesia juga menegaskan bahwa setiap mekanisme pendanaan harus mematuhi prinsip UNFCCC LEG: Integrasi, Kepemilikan Nasional, Efektivitas, Transparansi, dan Inklusivitas. Pendanaan yang dapat diprediksi dan berkualitas akan mempercepat implementasi NAP, menstimulus investasi jangka panjang melalui kolaborasi publik‑swasta, dan memperkuat ketahanan komunitas di tingkat lokal hingga nasional.
Indonesia mengundang negara mitra, lembaga keuangan multilateral, dan sektor swasta untuk mempercepat aliran pembiayaan yang transparan, terukur, dan berkeadilan. Delegasi menegaskan kesiapan bekerja sama secara konstruktif agar komitmen internasional berubah menjadi investasi nyata yang melindungi masyarakat dan ekosistem.
Catatan tambahan: UNFCCC The Least Developed Countries Expert Group (LEG) memberikan panduan teknis dan dukungan kepada negara‑negara kurang berkembang (LDC) dalam perumusan dan pelaksanaan NAP, penyusunan dan pelaksanaan NAPA, serta pelaksanaan program kerja LDC, yang relevan bagi akses dan penggunaan pembiayaan adaptasi di tingkat nasional.