Jakarta, 5 November 2025 — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) memperkenalkan aturan baru penilaian Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup/BPLH Nomor 7 Tahun 2025. Kebijakan ini menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan oleh dunia industri kini tidak hanya berorientasi pada pemenuhan regulasi, tetapi juga diarahkan untuk mendorong inovasi, efisiensi, serta pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.
Program PROPER merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menugaskan pemerintah melakukan pengawasan terhadap ketaatan pelaku usaha dalam memenuhi perizinan lingkungan. Melalui mekanisme pemeringkatan, PROPER menjadi instrumen strategis untuk menilai kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan. Peringkat diberikan mulai dari Merah, Hitam, dan Biru untuk tingkat kepatuhan dasar, hingga Hijau dan Emas bagi perusahaan yang mampu melampaui kewajiban dan menunjukkan kontribusi nyata terhadap keberlanjutan.
Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara KLH/BPLH, Nixon Pakpahan, menegaskan bahwa penilaian berbasis siklus hidup menjadi hal mendasar dalam sistem PROPER 2025.
“Karena kita menilai kinerja lingkungan, maka tidak akan terlepas dari LCA. Ini hal yang mendasar yang akan dinilai. Peserta PROPER harus membuktikannya dengan skor sesuai kriteria masing-masing. Setiap item akan dinilai buktinya, dan kita akan melakukan verifikasi lapangan untuk peringkat Hijau atau Emas. Pada periode sebelumnya hal itu belum dilakukan, sehingga ke depan dokumen akan dicek kesesuaiannya dengan kondisi nyata di lapangan,” ujar Nixon.
Dalam aturan terbaru ini, pemerintah memperluas cakupan penilaian, meliputi kepemilikan dokumen lingkungan, pengendalian pencemaran air dan udara, pengelolaan limbah B3 dan non-B3, audit lingkungan, serta pengelolaan lahan gambut dan pertambangan. Selain itu, PROPER 2025 menambahkan indikator baru yang menuntut kinerja lebih tinggi, seperti penerapan sistem manajemen lingkungan, Life Cycle Assessment (LCA), efisiensi energi dan air, penurunan emisi dan limbah, serta konservasi keanekaragaman hayati. Penilaian juga mencakup aspek sosial, seperti pemberdayaan masyarakat dan ketanggapan terhadap bencana. Untuk sektor perkebunan sawit, perusahaan kini diwajibkan menjadi anggota GAPKI sebagai bagian dari persyaratan tambahan.
Pakar LCA dari Universitas Airlangga, Aditya Prana Iswara, menambahkan pentingnya ketelitian dalam penyusunan laporan kajian. “Pedoman penyusunan laporan LCA memang membolehkan penilaian meskipun laporan tinjauan kritis tidak dilampirkan. Namun hal tersebut sangat disayangkan karena laporan tinjauan kritis memiliki bobot besar, yakni 10 poin. Jangan sampai dokumen tertukar dan mohon dicek dengan hati-hati,” tegasnya.
Selain aspek teknis, pemerintah juga menekankan pentingnya keberlanjutan sosial. Untuk meraih peringkat Emas, perusahaan harus mampu menunjukkan eco-innovation, green leadership, serta penerapan Social Return on Investment (SROI) dan skema nilai ekonomi karbon dalam model bisnisnya. Pakar pemberdayaan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada, Krisdyatmiko, menjelaskan bahwa kategori pemberdayaan kini lebih menekankan dampak jangka panjang bagi masyarakat.
“Aspek perbaikan terus-menerus dimaksudkan agar perusahaan mampu menunjukkan bahwa dalam kegiatan respon bencana, mereka tidak hanya berhenti di tahap tanggap darurat seperti pemberian bantuan langsung. Perusahaan harus mampu memberikan kemandirian bagi masyarakat yang sempat terpuruk akibat bencana,” ujar Krisdyatmiko.
Sebagai bagian dari upaya mendorong praktik melampaui kepatuhan atau beyond compliance, pemerintah juga memperkenalkan program Taman Asuh Sayang Anak (TAMASYA) yang melibatkan perusahaan dalam pendampingan keluarga serta pemantauan tumbuh kembang anak bersama BKKBN. Seluruh proses penilaian PROPER disertai dengan pengawasan ketat terhadap kompetensi personel, perizinan teknis, dan pelaksanaan pemulihan ekosistem gambut, terutama bagi perusahaan yang beroperasi di lahan gambut. Pemerintah menetapkan batas akhir pengajuan dokumen PROPER Hijau hingga 16 November 2025.
Melalui sosialisasi ini, pemerintah berharap perusahaan tidak lagi memandang PROPER sebagai sekadar alat pengawasan, melainkan sebagai peluang untuk memperkuat daya saing melalui efisiensi produksi, inovasi lingkungan, dan kontribusi sosial yang berkelanjutan. Upaya ini diharapkan menjadi pijakan penting dalam transformasi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.